Mengapa Diperlukan Pemolisian Demokratis?

Mengapa Diperlukan Pemolisian Demokratis – Perkembangan dan perubahan dinamika lingkungan strategis berdampak pada dinamika strategi dan sistem keamanan nasional suatu negara. Universalisasi demokratisasi, globalisasi, kemajuan sains dan teknologi, menjadi faktor-faktor yang secara langsung maupun tidak langsung memaksa beberapa negara di dunia untuk menata ulang strategi dan sistem keamanan dalam rangka meraih kepentingan nasionalnya (national interest).

Dalam konteks tersebut, tata kelola keamanan di sektor kepolisian mengalami perubahan dengan menyesuaikan pada prinsip arsistektur kepolisian dalam negara demokratis. Lantas, apa yang mendasari prinsip pemolisian demokratis?

Filosofi Kepolisian
Pada dimensi filosofis fungsi pemolisian lahir karena adanya kebutuhan akan rasa aman oleh masyarakat. Secara tradisional, kebutuhan akan rasa aman diwujudkan oleh masyarakat secara mandiri dengan asas gotong royong atau kerja sama antar warga. Prinsip kekeluargaan tersebut dikenal dengan istilah kin policing di Inggris. Di Indonesia, prinsip serupa juga dapat digali dari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat melalui kegiatan ronda keamanan keliling di kampung.

Berangkat dari landasan filosofis ini, konsep pemolisian demokratis (democratic policing) akar kelahirannya tumbuh dan berkembang dari masyarakat, bukan dari kekuasaan negara. Oleh karena itu, polisi bukan merupakan alat kekuasaan negara melainkan mengabdi dan melindungi masyarakat secara umum. Masyarakat memiliki kapasitas yang besar dan kuat untuk menentukan bentuk polisi serta pengawasan terhadap implementasi tugas dan fungsi pemolisian.

Dalam konteks Indonesia, sejarah pembentukan kepolisian nasional di Indonesia oleh R. S. Soekanto, Kepala Polri pertama di Indonesia, berusaha untuk mendirikan polisi yang berbeda dengan polisi bentukan pemerintah kolonial Belanda (kaki tangan politik) atau polisi bentukan pemerintah kolonial Jepang (militeris). R.S Soekanto berupaya untuk membentuk polisi yang berkarakter sipil yang memiliki keberpihakan terhadap masyarakat. Oleh karena itu, cita-cita polisi yang berkarakter sipil ini kemudian dibuat doktrin sebagai landasan filosofis dan etis kepolisian Indonesia yang dikenal dengan Tri Bata dan diperkuat lagi dengan doktrin Tata Tentrem Kerta Raharja.

Baca Juga:  Konflik Rempang Batam: Pemolisian Demokratis di Persimpangan Jalan

Prinsip Pemolisian Demokratis
Sulistyo & Karnavian dalam bukunya Democratic Policing mendefinisikan Pemolisian Demokratis (PD) merupakan sebuah konsep yang merujuk secara umum kepada proses-proses penyelenggaraan dan pengupayaan pemolisian melalui koridor dan proses demokratis. Dalam hal ini, terma demokratis hendak menawarkan perspektif baru dalam melihat persoalan pemolisian secara non-tradisional. Pasalnya, dalam pemahaman konvensional, polisi erat kaitannya dengan kekuatan koersi, tangan besi pemerintah otoriter, dan penundukkan masyarakat.

Penyematan ‘Demokratis’ dengan demikian hendak memformulasikan wajah lain dari politik dan penyelenggaraan keamanan dengan bertopang pada kekuatan yang terlegitimasi secara demokratis dan juga mengedepankan partisipasi sekaligus kepentingan dari rakyat itu sendiri (Johansen 1991).

Politik keamanan yang divisikan Pemolisian Demokratis meletakkan aparatur negara penyelenggara keamanan sebagai pihak yang memfasilitasi terciptanya keselamatan dan juga perasaan aman warga negara. Bukan sebaliknya, kepanjangan tangan penguasa yang sewenang-wenang membungkam rakyat dengan dalih ‘keamanan nasional’.

Namun demikian, demokratisasi proses-proses politik dan praktik penyelenggaraan pemolisian demokratis sering kali dihadapkan pada banyak dilema kepolisian. Pasalnya, implementasi pemolisian demokratis sering kali dihadapkan pada tantangan oligarki dan oligopoli yang menyekap independensi kepolisian dalam kaitannya dengan penyelenggaraan keamanan masyarakat yang demokratis (Neocleous 2011, 2014). Bahkan, kepolisian sering kali oleh para kritikus dianggap selalu hanya merujuk pada keamanan bagi proses akumulasi modal yang menguntungkan kelas atas semata.

Demokratisasi Polri
Titik awal sejarah demokratisasi Polri dimulai sejak reformasi 1998. Reformasi ini berdampak adanya tuntutan terhadap Polri untuk melakukan perubahan di tingkat sistem, struktur dan kultur institusi Polri. Reformasi ini bertujuan untuk mengubah citra Polri dari militeristik ke polisi sipil (civilian police) di alam demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan civil society serta professional dan akuntabel.

Baca Juga:  Asal-Usul Sejarah Kepolisian Indonesia Pasca-Kemerdekaan

Dalam konteks negara demokrasi, polisi sebagai alat negara di bidang penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat memerlukan keselarasan dengan struktur sosial sehingga peran Polri perlu sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan pemikiran ini, reformasi Polri mengacu pada orientasi utama penegakan hukum (rule of law) dan hak asasi manusia sebagai instrumen utama negara demokrasi. Dalam kerangka ini, konsep pemolisian di era demokrasi mengacu pada orientasi pemolisian berbasis penegakan hukum dan pemolisian berbasis hak asasi manusia.

Berangkat dari sejarah demokratisasi di Indonesia, pelaksanaan tugas dan fungsi Polri harus berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan, dalam norma universal, polisi statusnya sebagai institusi sipil yang tertuang dalam Resolusi PBB Nomor 143 tanggal 14 Juli Tahun 1960 tentang Polisi Non-Combatant. Dengan status ini, semua norma atau kaidah dalam masyaraat sipil berlaku bagi semua anggota Polri.

Tantangan Pemolisian Demokratis
Pemolisian demokratis saat ini tidak hanya akan mendapatkan ujian oleh dinamika politik dalam negeri jelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024, akan tetapi juga ekonomi politik global maupun nasional. Pasalnya, ketidakpastian ekonomi global dalam beberapa tahun terakhir berdampak pada stabilitas harga bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat. Kondisi ini menjadi tantangan yang perlu dipikirkan oleh jajaran kepolisian saat didesak untuk mengoperasionalisasikan doktrin pemolisian yang demokratis (DP).

Perkembangan-perkembangan ekonomi politik global memiliki dampaknya yang, sekalipun tidak semencolok ancaman terorisme atau risiko bencana, amat mendalam dan bahkan struktural. Dampak yang struktural dan sistemik ini perlahan-lahan namun pasti mengubah sendi-sendi sosial masyrakat, pilar-pilar kebudayaan dan kebangsaan, dan bahkan norma dan aturan politik hukum.

Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, anggota kepolisian khususnya para staf dan pimpinan tinggi Polri perlu diperlengkapi dengan pengetahuan dan analisis termutakhir, dan juga kemampuan kritis dalam membaca gambar besar dari serpihan-serpihan peristiwa yang terjadi. Pasalnya, hanya dengan pendekatan ini peran kepolisian untuk mengawal tercapainya pembangunan nasional yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat luas bangsa Indonesia dapat diwujudkan.***

Baca Juga:  Asal-Usul Polisi: Manajemen Kepolisian Modern

 

 

 

 

Referensi

Neocleous, M. (2011). ‘A Brighter and Nicer New Life’: Security as Pacification. Social & Legal Studies, 20(2), 191–208.

Johansen, Robert C. (1991). “Real Security Is Democratic Security.” Alternatives 16: 209–42

Muhammad Tito Karnavian dan Hermawan Sulistyo, Democratic Policing, Jakarta: Pensil 324, 2017.

Tinggalkan komentar

error: Content is protected !!