Ternyata leluhur Nabi Muhammad SAW bukan Orang Arab Asli?

Ternyata leluhur Nabi Muhammad SAW bukan Orang Arab Asli?-Nabi Muhammad SAW lahir di Mekkah al-Mukarramah pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah—bertepatan dengan 571 Masehi. Seperti yang sudah diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW berasal dari leluhur yang terhormat yakni Suku Quraisy yang mendapat kepercayaan sebagai pemegang kunci Baitullah Ka’bah di Mekkah al-Mukarramah.

Namun demikian, beberapa sumber menyebutkan bahwa Bani Quraisy sendiri bukan berasal dari leluhur Bangsa Arab Asli atau Arab al-‘Aribah. Sebaliknya, leluhur Quraisy berasal dari apa yang disebut dengan “Arab-al-Musta’ribah” atau “Orang Arab Pendatang” yaitu mereka yang memiliki garis keturunan dari Ismail bin Ibrahim dan mereka tidak ber-bahasa asli Arab, melainkan berbahasa Ibrani atau Suryani. Lantas, dari mana datangnya leluhur Nabi Muhammad SAW?

Oran Arab Pendatang atau Arab-al-Musta’ribah

Muhammad bin Ahmad al-Syatri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami membagi asal-usul Bangsa Arab menjadi dua yaitu Arab al-‘Aribah atau Arab Asli dan Arab-al-Musta’ribah atau orang Arab Pendatang.

Arab al-‘Aribah (العرب العاربة) adalah  adalah kelompok suku-suku Arab yang memiliki garis keturunan dari Ya’rub bin Yashjub bin Qahthan, sehingga kerap disebut juga sebagai Arab Qahthani dan umumnya mereka tinggal di wilayah Yaman.

Sedangkan, Arab al-Musta’ribah (العرب المستعربة), atau “orang Arab pendatang” adalah kelompok suku-suku yang berasal dari keturunan Ma’ad bin Adnan, sehingga disebut Arab Adnani atau Bani Adnan yang merupakan keturunan dari Nabi Ismail.

Nabi Ismail bin Ibrahim disebut Arab al-Musta’ribah karena mereka berasal dari Babilonia dari kota Ur, berbangsa Ibrani dan berbahasa Ibrani. Babilonia atau Babel adalah kota penting di Mesopotamia kuno, ibu kota dari kerajaan dan kekaisaran Babilonia, Irak.  Sementara itu, ibunya Nabi Ismail, Hajar berasal dari Mesir.

Baca Juga:  Asal-Usul Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Kisah tentang Nabi Ibrahim setelah diselematkan oleh Allah SWT dari pembakaran, kemudian bersama istrinya melakukan perjalanan menuju Palestina. Lantas, kekeringan yang melanda Palestina mendorongnya untuk meninggalkan Palestina menuju Mesir pada masa Raja Ru’at (Hyksos).

Selanjutnya, atas perintah Allah, Ibrahim membawa istri keduanya Hajar dan anaknya Nabi Ismail yang masih bayi ke suatu lembah tandus tanpa air tumbuhan dan rerumputan. Yaitu lembah Bakkah, atau Mekkah.

Setelah beberapa hari tinggal di Mekkah, Ibrahim atas perintah Allah SWT berniat meninggalkan mereka. Lazimnya seorang suami dan ayah dari seorang anak yang masih bayi, Nabi Ibrahim tidak cukup kuat untuk meninggalkan mereka berdua sehingga tidak mampu berpamitan dengan istrinya. Namun, keyakinan Ibrahim terhadap Allah SWT memberikan tekad bulat dalam hati untuk meninggalkan mereka berdua dan menitipkan mereka pada-Nya.

Perjumpaan dengan Kabilah Jurhum, orang Arab al-‘Aribah

Dalam perkembangannya, tanah yang dulunya kering dan gersang, setelah kedatangan Hajar dan Ismail atas mukjizatNya mengeluarkan air yang dikenal dengan air zam-zam. Kemunculan air zam-zam ini mengundang perhatian para Kabilah yang tinggal disekitar Mekkah. Salah satunya adalah Kabilah Jurhum dari Bani Qahthan (Bakhos, 2006).

Akhirnya, Kabilah Jurhum memutuskan untuk tinggal di dekat tempat Hajar dan Ismail tinggal. Said Muhammad Bakdasy dalam bukunya Sejarah Zamzam (2017) mengutip hadist dari Ibnu Abbas, “Hal tersebut menyenangkan ibunda Ismail, karena ia mendambakan teman, maka mereka pun tinggal di situ…,” terang Bakdasy dalam bukunya.

Leluhur Jumhur sendiri berasal dari garis keturunan yang terhubung hingga ke Nabi Nuh AS. Garis nasab Jumhur hingga Nabi Nuh AS adalah Jurhum bin Qahthan bin Abir bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh. Mereka adalah orang-orang yang dikenal dengan Bani Qahthan yang disebut Arab al-‘Aribah (العرب العاربة) yang berasal dari Hadramaut, Yaman.

Baca Juga:  Sejarah Resolusi Jihad NU

Demikianlah, kabilah Jurhum yang semula hidup nomaden kemudian menetap bersama Hajar dan Ismail. Dalam perkembangannya, akulturasi kebudayaan menjadi tidak bisa dihindari. Nabi Ismail tumbuh berkembang di tengah-tengah kabilah Jurhum sehingga yang semula berbahasa Ibrani akhirnya belajar bahasa Arab melalui suku Jurhum, bahasa yang berbeda dengan bahasa bapaknya.

Puncaknya, Nabi Ismail menikahi putri pemimpin suku Jurhum, dikaruniai dua belas anak, yang menjadi moyang Bangsa Arab. Sejak saat itu, lembah Mekkah yang dulunya sepi dan gersang menjadi ramai dan Mekkah menjadi tempat singgah para rombongan kafilah dari berbagai daerah, sekedar beristirahat, melakukan perdagangan hingga mendengarkan ajaran Ibrahim.

Walhasil, pernikahan Nabi Ismail dengan Putri Kabilah Jurhum semakin memperkuat akulturasi kebudayaan termasuk ajaran Nabi Ibrahim menjadi kepercayaan Kabilah Jurhum. Demikian, Bani Ismail tinggal di Mekkah bersama Suku Jurhum dengan melahirkan beberapa keturunan dan setelah beberapa generasi sesudahnya, Muhammad SAW, dilahirkan di tempat yang sama.***

 

 

 

 

 

Referensi:

Carol Bakhos, Ishmael on the Border, Rabbinic Portrayals of the First Arab, State University of New York Press, Albany, 2006.

Muhammad bin Ahmad al-Syatri, Adwar al-Tarikh al-Hadrami

Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, Lentera Hati, 2018.

Said Muhammad Bakdasy, Sejarah Zamzam, Turos Pustaka, 2017.

 

Tinggalkan komentar

error: Content is protected !!