Perkembangan Hukum Pers di Indonesia

Hukum pers yaitu aturan yang ditetetapkan pemerintah dan bersifat mengikat pers dan pihak-pihak lain termasuk pemerintah dan masyarakat. Secara normatif, keberadaan hukum pers ditetapkan sebagai bentuk jaminan kebebasan pers dan perlindungan pers oleh negara.

Namun demikian, di balik pengaturan tentang hukum pers yang ditetapkan oleh pemerintah sering kali dijadikan alat untuk mengontrol dan membatasi perkembangan pers yang dianggap membahayakan stabilitas pemerintahan dan stabilitas kekuasaan rezim . Lantas, bagimana sejarah perkembangan hukum pers di Indonesia?

Zaman Kolonial
Pada awal abad ke-20 ketika pers mulai diperkenalkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, kebebasan pers perlahan mulai muncul pada saat itu. Pers tidak hanya dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan milik pemerintah Hindia-Belanda, akan tetapi seiring dengan perkembangan kebebasan pers, warga pribumi juga mulai menerbitkan sejumlah surat kabar baik skala lokal maupun nasional, baik menggunakan Bahasa lokal atau daerah maupun menggunakan Bahasa melayu atau Indonesia.

Perkembangan pers (baca: surat kabar) yang pada mulanya lebih banyak berisi informasi hiburan dan iklan, lambat laun memuat informasi berita. Puncaknya, pada tahun 1900-an keberadaan pers mulai dijadikan alat agitasi dan propaganda warga pribumi untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Perkembangan ini mulai menjadi perhatian pemerintah Hindia-Belanda sehingga mendorong ditetapkan aturan hukum yang mengontrol keberadaan pers saat itu.Pada awalnya, hukum pers yang pernah ada di Indonesia dapat ditelusuri melalui hukum pers yang ditetapkan pemerintah Hindia-Belanda yaitu ‘Persbreidel Ordonnantie‘ yang ditetapkan pada 7 September 1931. Aturan ini dibentuk untuk mengendalikan keberadaan pers saat itu yang dianggap sebagai ancaman stabilitas ketertiban umum dan ancaman terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Kondisi serupa juga terjadi pada masa Jepang. Kehadiran Jepang menggantikan Belanda tidak kalah ketat dalam melakukan kontrol terhadap kebebasan pers. Bagi pemerintah Jepang, keberadaan pers tidak dilarang akan tetapi dibatasi dengan menetapkan kebijakan hukum “sensor preventif” melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1942 tentang Sarana Publikasi dan Komunikasi untuk mengendalikan dan mengawasi media massa atau pers.

Baca Juga:  Kisah Batik Indonesia, dari Majapahit hingga Paris

Hukum Pers Pada Masa Orde Lama
Pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, hukum pers dan kebebasan berbicara belum mendapatkan perhatian yang cukup. Fokus pemerintah pada saat itu lebih banyak ditujukan untuk menghadapi tantangan-tantangan politik dan ekonomi yang dihadapi oleh negara Indonesia yang baru merdeka.

Oleh karena itu, hukum pers pertama kali yang pernah muncul di Indonesia setelah kemerdekaan di masa Orde Lama adalah peraturan hukum yang ditetapkan pada tahun-tahun akhir pemerintahan Orde Lama yaitu Undang-Undang Pers No. 11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Keberadaan UU ini diharapkan dapat menjaga stabilitas persatuan dan kesatuan di tengah dinamika politik dalam negeri yang memanas dari berbagai gerakan politik yang ada saat itu.

Maka dari itu, semangat UU Pers saat itu mengusung tagline pers sebagai ‘penjaga revolusi.’. Hal ini tertulis dalam Pasal 2 UU tersebut, yang berbunyi yaitu: “Pers nasional berkewajiban membina persatuan dan kekuatan-kekuatan progresif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, feodalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme / diktatur

Semangan pers sebagai “Penjaga Revolusi” merupakan cara pemerintahan Soekarno untuk mengendalikan dan mengawasi keberadaan pers yang dijadikan instrumen politik propaganda oleh lawan-lawan politiknya. Dengan kata lain, aturan tersebut ditujukan untuk menkonsolidasikan dinamika politik dalam negeri agar tetap dalam bingkai persatuan dan kesatuan.

Sekitar satu tahun setelah UU Pers No.11 tahun 1966 ditetapkan sebagai hukum pers, pemerintahan Orde Lama melakukan perubahan dengan melakukan revisi beberapa pasal, yang kemudian ditetapkan menjadi UU Pers No. 4/1967. Salah satu pasal yang direvisi adalah pembatalan terhadap pelarangan penerbitan buku. Pasalnya, pada tahun 1959, pemerintah melarang penerbitan dan percetakan buku melalui peraturan No 23/perpu/1959 yang memberi wewenang militer melarang buku dan menutup percetakan. Aturan pelarangan buku ini berimbas pada status Indonesia yang pernah dinyatakan oleh UNESCO  sebagai negara dengan kondisi paceklik buku pada tahun 1973.

Baca Juga:  Perkembangan Pers di Indonesia Pada Masa Kolonial Belanda

Hukum Pers Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, rezim pemerintahan Soeharto tidak mau kalah dengan pemerintahan Orde Lama. Sama-sama menjadikan hukum pers sebagai alat kontrol pemerintah terhadap kebebasan pers.  Hukum pers diatur oleh pemerintah dengan mengusung tagline Pers sebagai ‘Penjaga Pancasila.’ Pancasilaisme ala Pak Harto masuk ke dalam aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali pada aspek kebebasan pers.

Dalam menjalankan visi pers sebagai ‘Penjaga Pancasila,’ pemerintah Orde Baru menetapkan Undang-undang Pers No. 21/1982 dan Undang-undang Penyiaran No.24 Tahun 1997. Peraturan hukum ini menjadi alat pemerintah Orde Baru melalui Departemen Penerangan untuk melakukan kontrol dan pengawasan secara ketat terhadap kebebasan media massa, baik cetak maupun elektronik.

Bahkan, pemerintah Orde Baru saat itu tidak segan-segan untuk membredel atau menutup media massa yang kritis terhadap pemerintah. Kasus pembredelan atau penutupan Majalah Tempo (1982, 1994), Harian Sinar Harapan (1986), Harian Indonesia Raya (1974) adalah beberapa contoh kebijakan kontrol dan pengawasan ketat yang dilakukan pemerintah Orde Baru.

Selain motif politik, pengendalian kebebasan pers atau media massa oleh pemerintah Orde Baru juga dilakukan dengan motif ekonomi. Pasalnya, Satelit Palapa yang diluncurkan pertama kali oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1976 mendorong konglomerasi skala nasional dan internasional untuk membangun kerja sama industri informasi dengan Keluarga Cendana hingga popular istilah ‘wartawan cendana’. Puncaknya, pemerintah pada saat itu mengeluarkan peraturan bahwa semua media massa atau pers harus memiliki Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan persyaratan lain yang ditetapkan pemerintah.

Pasca-Reformasi
Titik balik kebebasan pers di Indonesia terjadi seiring dengan jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru. Hal ini setidaknya dimulai ketika K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden RI ke-4 negara Indonesia. Salah satu kebijakan Gus Dur adalah membubarkan Departemen Penerangan yang dirasa menjadi penghambat kebebasan media massa di Indonesia. Selain itu, pada periode ini juga ditetapkan Undang-undang Pers No.40 Tahun 1999. UU ini menjadi harapan baru kebebasan media massa dan pers di Indonesia setelah 32 tahun dipasung oleh rezim Orde Baru.

Baca Juga:  Sejarah Perkembangan Media Massa

Kehadiran UU Pers No. 40 Tahun 1999 mendorong terjadinya perkembangan pesat kebebasan pers di Indonesia. Pasalnya, sejumlah media massa atau pers, penerbitan buku, dan majalah mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perkembangan ini terjadi baik skala lokal, nasional maupun internasional. Salah alasan yang memicu perkembangan penerbitan dan percetakan di Indonesia pada periode pasca-reformasi adalah Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tidak lagi diperlukan untuk membuat penerbitan,  seperti yang ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu, perubahan ini memungkinkan bagi semua orang untuk mendirikan penerbitan tanpa harus membuat SIUPP. Sebaliknya, untuk mendirikan lembaga penerbitan bisa cukup hanya dengan membuat lembaga berbadan hukum sebagai payung hukum lembaga penerbit.***

 

 

Penulis: AA

Referensi:
H., Hill, Indonesia’s New Order: the dynamics of socio-economic transformation, Honolulu: University of. Hawaii Press, 1994.
Y., Nugroho, MF., Siregar, dan S., Laksmi, Memetakan Kebijakan Media di Indonesia, Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance, 2012.
K., Sen dan D.T.,Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxfod: Oxford University Press, 2000.

Tinggalkan komentar

error: Content is protected !!