Asal-Usul Masalah Beras di Indonesia

Asal-Usul Masalah Beras di Indonesia-Salah satu masalah klasik yang terus berulang dan selalu dihadapi pemerintah Indonesia adalah masalah perberasan atau sektor beras. Masalah beras di Indonesia seringkali menjadi perhatian dalam setiap rezim pemerintahan. Pemerintah dari setiap periode rezim pemerintahan selalu berusaha untuk menjaga stabilitas harga beras agar dapat dijangkau oleh masyarakat. Pasalnya, persoalan beras ini tidak hanya menjadi masalah sektor pertanian, tetapi juga berdampak pada persoalan politik, ekonomi, dan sosial.

Pengalaman di Indonesia bahwa kelangkaan ketersediaan beras yang menyebabkan melonjaknya harga beras pada tahun 1998, baik secara langsung maupun tidak langsung ikut memperparah krisis sosial, ekonomi, dan politik, yang menyebabkan kejatuhan rezim pemerintah Orde Baru. Lantas, apa saja masalah-masalah perberasan nasional di Indonesia selama ini?

Asumsi Beras sebagai Sumber Makanan Pokok
Beras adalah makanan pokok utama bagi 276,4 juta populasi manusia di Indonesia. Bahkan, tingkat konsumsi beras masyarakat terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Beras bagi masyarakat Indonesia dianggap satu-satunya sumber keberlangsungan hidup. Atas dasar itu, masyarakat Indonesia mengenal ungkapan “belum makan, kalau belum makan (mengonsumsi)nasi beras.” Ungkapan ini bermakna bahwa “keberlangsungan hidup” manusia jika tersedianya stok beras sebagai sumber pangan. Dengan kata lain, masyarakat akan merasa aman jika memiliki persediaan stok beras yang cukup yang dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Pemahaman masyarakat mengenai beras sebagai satu-satunya sumber makanan pokok adalah akar masalah kompleksitas persoalan beras di Indonesia.

Data Bada Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam lima tahun terakhir terjadi kenaikan konsumsi beras tiap tahunnya di Indonesia. Pada 2018 konsumsi beras dari semua jenis, termasuk beras lokal, kualitas unggul, dan impor, rata-ratanya mencapai 1,404 kg per kapita per minggu. Jumlah ini kemudian sempat turun menjadi 1,374 kg per kapita per minggu pada 2019. Namun, ketika pandemi melanda, rata-rata konsumsinya naik ke 1,379 kg per kapita per minggu. Konsumsinya juga terus bertambah pada tahun kedua pandemi, yakni menjadi 1,451 kg per kapita per minggu pada 2021.

Ketergantungan Impor Beras
Salah satu strategi pemerintah dalam menjaga ketersediaan stok beras adalah impor beras. Kebijakan impor beras adalah strategi pragmatis pemerintah dalam memenuhi ketersedian beras di masyarakat. Pemerintah seperti tidak memiliki strategi alternatif menghadapi tingkat kebutuhan beras yang tinggi di masyarakat. Pemerintah cenderung berlindung di balik rendahnya produksi beras yang tidak mencukupi kebutuhan. Kebijakan impor beras menjadi kegiatan ritual setiap rezim pemerintahan dari masa ke masa untuk menjaga swasembada beras.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kebijakan impor beras sepanjang periode 2014-2019 terus dilakukan pemerintah. Pada tahun 2014 impor beras mencapai 844 ribu ton, tahun 2015 sebesar 861 ribu ton, tahun 2016 mencapai 1,28 juta ton, 305 ribu ton pada 2017, 2,25 juta ton di tahun 2018 dan 2019 impor beras mencapai 444 ribu ton. Di tahun 2020, pemerintah kembali melakukan kebijakan impor beras sebesar tahun 356.286,2 ton. Pada tahun 2021, kebijakan impor beras pemerintah mencapai angka 407.741,4ton beras. Puncaknya, di tahun 2022, pemerintah melalui Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik (Perum Bulog) menyampaikan beras impor sebanyak 200.000 ton akan masuk ke Indonesia pada Desember 2022.

Baca Juga:  Jumlah Impor Beras Indonesia: Pemerintahan Joko Widodo

Sementara itu, mengutip data BPS impor beras menurut negara asal utama, 2000-2021 per 12 Agustus 2022, impor beras RI terbesar berasal dari India dengan porsi 215.386,5 ton di tahun 2021. Melonjak dari posisi tahun 2020 yang hanya 10.594,4 ton. Disusul Thailand yang memasok 69.360 ton ke Indonesia tahun 2021, turun dari tahun 2020 yang sebanyak 88.593,1 ton. Kemudian Vietnam, di mana impor beras Indonesia di tahun 2021 mencapai 65.692,9 ton, turun dari tahun 2020 yang mencapai 88.716,4 ton.

Pemerintah selalu berdalih bahwa kebijakan impor beras di Indonesia karena stok produksi beras di Indonesia tidak mencukupi. Data BPS mencatat bahwa luas panen padi tahun 2021 turun 2,3% atau 245,47 ha menjadi sekitar 10,41 juta ha dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 10,66 juta ha. Akibatnya, produksi padi tahun 2021 turun 0,43% atau 233,91 ribu ton menjadi 54,42 juta ton gabah kering giling (GKG) dibandingkan tahun 2020 yang sebanyak 54,65 juta ton GKG. Oleh karena itu, produksi beras pada 2021 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,36 juta ton. Susut sebanyak 140,73 ribu ton atau 0,45% dibandingkan produksi beras di 2020 yang sebanyak 31,50 juta ton.

Perbedaan Data Beras Nasional
Perbedaan data beras merupakan masalah klasik yang selalu muncul seiring dengan kebijakan impor beras. Di Indonesia, ada empat lembaga yang terkait dengan impor beras, antara lain: Kementan, Kemendag, Bulog, BPN dan BPS. Masing-masing lembaga memiliki posisi dan sikap dalam memutuskan perlu atau tidaknya kebijakan impor beras. Akan tetapi, fakta di lapangan polemik perbedaan data beras nasional antara empat lembaga tersebut selalu muncul di permukaan. Bahkan, keputusan impor beras dilakukan di tengah perbedaan stok data beras antara lembaga-lembaga tersebut.

Dalam lingkaran kebijakan impor beras, Kementerian Pertanian adalah regulator dan eksekutor impor beras karena pasokan ketersediaan beras ujung tombak berada di Kementerian Pertanian. Kebijakan impor beras dapat dilakukan oleh Kementerian Pertanian manakala ketersediaan beras tidak mencukupi atau impor beras dilakuan untuk menutupi defisit produksi dalam negeri. Kebijakan impor beras juga harus dilakukan koordinasi dengan Kementerian Perdagangan sebagai regulator yang mengatur sirkulasi perdagangan yang akan berdampak dinamika ekonomi nasional.

Baca Juga:  Lembaga Pemerintah terkait Kebijakan Impor Beras di Indonesia

Sementara itu, Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) adalah entry point dalam menata dan mencari solusi tata niaga pangan pokok ke depan terutama dari sisi hilir. Tetapi salah satu persoalan di lapangan adalah tidak adanya data yang akurat mengenai berapa jumlah rata-rata kebutuhan/permintaan setiap jenis komoditas pokok dan berapa jumlah stok kebutuhan pokok yang ada di pasar baik di tingkat produsen, di tingkat distributor maupun pedagang kecil/eceran per hari.

Perbedaan data selalu mengiringi sikap antar lembaga pemerintah yang terkait dengan kebijakan impor beras. Misalnya, keputusan kebijakam impor beras tahun 2022 diwarnai perbedaan data antara Kementarian Pertanian dan Badan Pangan Nasional (BPN). Kementan meyakini bahwa stok ketersediaan beras mencukup untuk tahun 2022. Pasalnya, Kementan mencatat data stok beras di penggilingan sebesar 610.632 dengan rentang harga Rp.9.359 hingga Rp.11.700 per kilogram. Harga dinilai tidak sesuai kesepakatan antara Bulog dan BPN, yaitu maksimum Rp.10.200 dengan alasan mencegah inflasi.

Perbedaan data bukan pertama kali terjadi ketika keputusan impor beras di tahun 2022 dilakukan. Pada tahun 2018, perbedaan data juga terjadi antara BPS dan Kementan yang menyajikan data berbeda-beda mengenai produksi beras. Kementan di tahun 2018 menyatakan produksi beras lebih dari cukup. Bahkan, surplus 2017 disebutkan lebih dari 10 juta ton dan diramalkan akan sama pada tahun 2018. Akan tetapi, fakta di lapangan harga beras merangkak naik dan stok beras di Bulog menipis. Padahal, akurasi data ketersediaan beras nasional akan berdampak pada keputusan perlu atau tidaknya keputusan impor.

Oleh karena itu, sengkarut polemik data beras nasional memicu permainan para pemburu rente perdagangan beras di Indonesia. Mafia beras bermain dengan dalih untuk menutupi kebutuhan yang kurang akibat jumlah pasokan beras lokal yang tidak mencukupi. Dengan kata lain, permainan para mafia atau kartel beras ini berada pada ketiga lembaga pemerintah yakni Bulog, Kementan dan Kemendag. Kementerian Perdagangan memiliki andil mengatur tata niaga beras akan tetapi tidak mampu mengatur perniagaan beras dari petani hingga konsumen.

Sementara itu, Kementerian Pertanian tidak konsisten menjaga luasan lahan pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut luas lahan baku sawah terus menurun yakni 2018 luas lahan tinggal 7,1 juta hektare, turun dibanding 2017 yang masih 7,75 juta hektare. Selain itu, Perum Bulog membuat proyeksi meleset yang mengakibatkan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mengambil langkah impor. Praktek mafia pangan sulit dibuktikan akan tetapi dengan melihat nilai strategis beras di Indonesia, para pemburu rente perdagangan beras di Indonesia telah terorganisir dan terstruktur, serta terafiliasi dengan perusahaan raksasa global yang melihat Indonesia sebagai lahan basah untuk mendapatkan keuntungan melalui sistem praktek monopoli, oligopoli dan kartel. Akibatnya, kebijakan di bidang beras lebih mengutamakan aktifitas panen di pelabuhan (baca: impor) daripada menegakkan kedaulatan pangan di tanah para petani.

Baca Juga:  Hubungan Sipil-Militer di Indonesia

Perubahan Iklim
Sementara itu, produksi beras dalam satu dekade terakhir dihadapkan pada ancaman perubahan iklim yang menganggu stabilitas produksi beras dan sektor pengan lainnya. Pada saat bersamaan, volume luas lahan pertanian semakin berkurang seiring dengan kepadatan penduduk dan modernisasi industri ekonomi yang memaksa terjadinya alih fungsi lahan pertanian.
Pada tahun 2002, The Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) telah mengingatkan masyarakat dunia akan ancaman perubahan iklim akibat pemanasan global berlangsung semakin cepat. Dampak dari perubahan iklim ini melahirkan siklus iklim yang tidak menentu. Akibatnya, tidak adanya kepastian produksi di sektor pertanian, termasuk produksi beras sehingga akan memicu terjadi krisis pangan global.

Mengacu pada Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index),Indonesia masih berada di peringkat ke-69 dari 113 negara. Posisi tersebut menempatkan Indonesia berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Selain itu, skor Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index) pada 2021, Indonesia masih menempati urutan ke-73 dari 116 negara dengan skor 18.0 yang memiliki tingkat kelaparan sedang.

Beberapa kajian menunjukkan bahwa perubahan iklim mengakibatkan sektor pertanian mengalami penurunan produksi pertanian. Negara-negara seperti India (Tripathi & Mishra, 2017), Pakistan (Ali &Erenstein,2017), dan Ghana (Philip Antwi-Agyei, et.al, 2018) adalah negara yang tidak berdaya menghadapi perubahan iklim yang mengakibatkan produksi sektor pertanian mengalami penurunan. Kasus kerentanan produksi pertanian akibat perubahan iklim yang terjadi di berbagai negara ini perlu menjadi bahan evaluasi dalam melihat ketahanan petani dalam beradaptasi atas dampak perubahan iklim yang sedang terjadi.

 

 

 

 

Referensi

Akhter Ali, Olaf Erenstein, “Assessing farmer use of climate change adaptation practices and impacts on food security and poverty in Pakistan,” Climate Risk Management,Volume 16,(2017),183-194,

Amarnath Tripathi, Ashok K. Mishra, “Knowledge and passive adaptation to climate change: An example from Indian farmers,” Climate Risk Management,Volume 16, (2017), 195-207

Marolop Tandjung, Aspek dan Prosedur Ekspor-Impor. Jakarta: Salemba Empat, 2011.

Philip Antwi-Agyei, Andrew J. Dougill, Lindsay C. Stringer, Samuel Nii Ardey Codjoe, “Adaptation opportunities and maladaptive outcomes in climate vulnerability hotspots of northern Ghana,”Climate Risk Management, Volume 19, (2018), 83-93

Rina Oktaviani, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Penegakkan Hukum Pemberantasan Mafia Impor Pangan. Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2015.

 

Tinggalkan komentar

error: Content is protected !!